POLITIK ANGGARAN

OLEH : MOKHAMAD IKHSAN

Bila dilihat dari konsep dan prakteknya yang ideal, proses penyusunan APBD terdiri dari dua (2) hal mendasar, yaitu perencanaan dan penganggaran. Serta dari sifatnya, perencanaan dan penganggaran di pemerintahan daerah dilaksanakan secara terintegrasi (unified budgeting) dengan berlandaskan pada konsep penggunaan sumberdaya/dana yang ada untuk pemenuhan kebutuhan publik (money follows function). Sebuah APBD disusun sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan pelayanan publik yang ada di daerah, yang telah direncanakan sejak awal tahun sebelumnya melalui penyusunan dokumen perencanaan tahunan daerah RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah).
Dilihat dari sisi posisi dalam siklus perencanaan, RKPD memiliki posisi penting sebagai penghubung antara perencanaan dan penganggaran. Perencanaan yang dimaksud adalah rangkaian proses penyelenggaraan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah) yang dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari Musrenbang desa/kelurahan (dilaksanakan bulan Januari), kecamatan (Februari), dan kabupaten/kota (Maret). Maka RKPD merupakan resume dari proses Musrenbang tersebut. Sedangkan penganggaran yang dimaksud adalah proses peng-alokasian (penjatahan) sumber anggaran ter
Secara umum, Musrenbang dapat ditempatkan sebagai mekanisme yang “mempertemukan dan mengkonsolidasikan kepentingan” satuan kerja perangkat daerah (SKPD) selaku pemberi pelayanan publik dengan masyarakat (konstituen) selaku penerima pelayanan publik. Kemudian Rancangan RKPD inilah yang “dirembugkan” antara SKPD terkait dengan konstituen/masyarakat dalam Forum SKPD di Musrenbang Kabupaten.
Dalam Forum SKPD ini, masyarakat mengutus delegasinya mewakili desa-desa di kecamatan untuk menyampaikan permasalahan/kebutuhannya, beradu argumen, berusaha saling meyakinkan, untuk didengar, ditanggapi dan ditempatkan usulan kegiatannya dalam rencana kerja oleh masing-masing SKPD yang sesuai dengan bidang dan kewenangannya. Usulan-usulan yang diajukan masyarakat tentu saja melaui proses dan siklus politik di tingkat komunitas dan kelompok masing-masing. Maka tentu saja outputnya tidak seragam, ada yang lintas bidang, lintas kewenangan, lintas fungsi dan urusan. Maka pada titik itu SKPD bersangkutan harus tetap menampung usulan masyarakat untuk disampaikan dalam Musrenbang Provinsi dan/atau Musrenbang Nasional. Semua usulan dari masyarakat yang confirm dengan Tupoksi SKPD dan yang confirm dengan kewenangan pemerintah daerah tidak saja menjadi ketetapan teknokratis, walaupun melalui tahapan dan langkah teknis perencanaan, akan tetapi juga menjadi sebuah ketetapan politik anggaran daerah.

APA ITU POLITIK ANGGARAN
Dari gambaran diatas maka politik anggaran dapat dimaknai sebagai proses pengalokasian anggaran berdasarkan kemauan dan proses politik, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Tidak dapat dihindari bahwa penggunaan dana publik akan ditentukan kepentingan politik. Irene S. Rubin dalam The Politics of Public Budgeting (2000) mengatakan, dalam penentuan besaran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Bahwa alokasi anggaran acap juga mencerminkan kepentingan perumus kebijakan terkait dengan konstituennya.

POLITIK PERWAKILAN YANG BURUK
Fakta menunjukan bahwa alokasi belanja pemerintah dalam APBD ternyata lebih banyak untuk menggerakkan mesin birokrasi daripada untuk kepentingan rakyat. Ini menunjukan politik anggaran belum berada dalam arah yang benar. Sedangkan porsi belanja untuk kepentingan rakyat seringkali rawan dikorup, tidak efektif memecahkan masalah-masalah seperti kemiskinan, infrastruktur, peningkatan pendidikan dan kesehatan.
Dengan demikian agar APBD benar-benar dapat dimanfaatkan rakyat, diperlukan upaya ekstra untuk memastikan agar penggunaannya tidak menyeleweng ke kegiatan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip penggunaan anggarana negara. Jika dibiarkan terjadi, bukan hanya kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik dan para politisi yang akan tergerus, tetapi tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat juga semakin sulit dicapai karena prinsip penggunaan keuangan negara yang berkeadilan, tidak boros, tepat sasaran, proporsional, efektif dan efisien tidak tercapai, sementara sumber daya anggaran terbagi habis di bidang-bidang yang tidak berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Ketika Politik anggaran tidak berjalan diametral dengan kesejahteraan rakyat, yang terjadi bukan hanya karena elit politik yang korup, tetapi juga perwakilan politik yang buruk (poor political representation)/

BAGAIMANA RAKYAT MENGONTROLNYA
Politik anggaran harus dikendalikan oleh tujuan yang akan dicapai (policy driven). Dengan kata lain harus ada keterkaitan antara bujet dengan arah kebijakan sebagaimana tertuang dalam RPJMD dan RKPD. Politik anggaran harus menjadi alat mencapai tujuan pembangunan daerah. Konsekuensi dari politik anggaran ini adalah pemerintah didorong melakukan perubahan secara mendasar di level birokrasi. Seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) perlu didorong untuk meningkatkan penerimaan dan melakukan efisiensi dan efektivitas pengeluaran. Dalam konteks ini, reformasi birokrasi secara total perlu segera diimplementasikan.
Ketika pemerintah berisi birokrat yang tidak tersentuh reformasi, dan parlemen yang tidak cukup menawarkan aspirasi perubahan dalam pola dan substansi politik anggaran yang tidak menguntungkan rakyat, maka diperlukan sebuah refleksi serius di kalangan kelompok masyarakat, akademisi dan aktivis pro transparansi dan akuntabilitas anggaran di daerah. Bila siklus penganggaran dan mekanisme penyusunan APBD selama ini telah terbukti gagal menciptakan perubahan sosial yang lebih berkeadilan sebagai tujuan politik warga, maka harus dipilih alternatif politik anggaran yang bertumpu pada gerakan sosial yang masih berada di luar sistem politik daerah yang sudah mapan.
Peluang rakyat untuk mengontrol proses anggaran/APBD terdapat dalam tiap tingkat pembahasan, mulai dari level desa, kecamatan sampai kabupaten. Dan melalui dua domain pula, domain teknokratis di setiap pembahasan teknis struktur pemerintah, dan domain politis melalui penyampaian aspirasi/hearing di DPRD. Semua peluang itu telah dan sedang dilaksanakan, tapi pertanyaannya : kenapa aspirasi rakyat yang diwakili oleh sekelompok delegasi dalam Musrenbang selalu kalah dalam mendapatkan sumber alokasi anggaran? Dan kenapa rakyat yang diwakili oleh sekelompok wakil rakyat di parlemen juga sering tidak optimal mendapat alokasi anggaran?

PILIHAN-PILIHAN STRATEGI
Kekalah-kekalahan gerakan rakyat yang dilibatkan di dalam sistem politik anggaran ini harus menjadi komponen dominan dalam merancang pola dan model keterlibatan aktif warga, yang harus dimulai dengan membangun akar yang kuat di aras akar rumput sekaligus cakap dalam membangun ruang politik yang memadai antara kerja-kerja di tingkat lokal dan sistem politik yang lebih luas melalui para kader, aktivis partai/ormas/okp. Gerakan sosial sejatinya adalah ruang antara (intermediary space) yang menjembatani antara negara dan masyarakat sipil. Tapi juga harus menghindari terjebak ke dalam pekerjaan-pekerjaan administratif ketimbang melakukan pengorganisasian masyarakat.
Yang masih perlu dicermati secara serius dalam prakteknya sebagai berikut Pertama Masalah pokoknya adalah keterputusan antara kelompok-kelompok yang memahami aspek serta akibat politik anggaran daerah, dan massa di akar rumput yang awam terhadap anggaran daerah, tetapi menerima dampak langsung dari kinerja politik anggaran, serta mempunyai kebutuhan langsung yang signifikan. Kedua, lemahnya advokasi dalam mobilisasi sumberdaya (resource mobilization), dimana ruang-ruang negosiasi politik dan transaksi anggaran dalam memobilisasi sumberdaya nyaris tertutup bagi kelompok-kelompok masyarakat. Ketiga,Kelemahan dalam melakukan mobilisasi politik, karena yang terjadi di daerah adalah kuatnya kelompok demokrat mengambang yang kini mengisi ruang-ruang pemerintahan akan tetap mempertahankan sistem yang sudah mapan.

Oleh karena itu, perlu melakukan upaya serius setidaknya untuk lima tahun mendatang. Berkaca pada kelemahan gerakan kelompok masyarakat yang terjadi sekarang, dibutuhkan setidaknya, pertama, karena keterputusan antara kelompok masyarakat yang melek politik anggaran dan massa yang awam, maka dibutuhkan aksi kolektif dari organisasi yang melakukan pendidikan dan pemahaman terhadap politik anggaran dengan mengoptimalkan potensi issue di masing-masing wilayah, seperti menghimpun dan memobilisasi potensi wilayah versus alokasi anggaran yang tersedia tiap tahun. Sehingga tercipta identitas kolektif dan ruang politik, yang kemudian diharapkan menjadi energi politik yang semakin besar untuk menegosiasikan kepentingan dalam proses politik anggaran. Kedua, mengingat wilayah kerja yang luas. Upaya menanamkan agen-agen di tiap kecamatan harus dilakukan, fokus di issue lokal, serta menggarap secara optimal setiap masalah dalam ruang lingkup terbatas, logikanya, akan lebih optimal dalam merebut ruang politik kecamatan, dibandingkan dalam skala kabupaten. Alasannya jelas, karena pengorganisasian politik akan lebih mudah dilakukan di level lokal; wilayah kerja yang lebih kecil memudahkan untuk menemukan identitas kolektif; menemukan masalah lokal yang lebih riil ; jarak dengan konstituen massa lebih dekat; karena keragaman jenis kebutuhan sosial di masing-masing wilayah membutuhkan pendekatan yang berbeda; dan faktor kekayaan dan keragaman nilai kultural di level lokal bisa lebih memperkaya potensi gerakan sosial
Dua hal penting di atas, akan menjadi antitesis dari politik anggaran yang sedang berlangsung. Model ini diarahkan untuk melakukan mobilisasi politik untuk melawan kaum demokrat mengambang yang menguasai domain politik anggaran. Dalam prakteknya, gerakan ini pun harus diisi oleh figur yang sudah terlebih dahulu melewati proses rekruitmen politik di gerakan sosial yang mampu melakukan koreksi dan reformasi dalam setiap siklus perencanaan dan penganggaran.

Leave a comment